Wednesday, October 8, 2014

Terios 7 Wonders : [Day-2] Mengungkap Misteri Suku Bajo di Torosiaje Gorontalo

Ekspedisi Terios 7 Wonders "Amazing Celebes Heritage" memasuki hari ke-2 dan destinasi yang akan dikunjungi adalah Kampung Suku Bajo yang berada di Desa Torosiaje, Gorontalo. Keunikan dari kampung ini adalah seluruh rumah dan fasilitasnya berada di atas laut. Ya benar-benar di atas lautan lepas pantai Torosiaje, Gorontalo. Saat kami mengunjungi kami menggunakan sampan tradisional yang dapat diisi penumpang sebanyak 5 orang. Dalam kurun waktu kurang lebih 10 menit kita sudah sampai di dermaga Kampung Bajo. Kami disambut oleh Pak Tama yang menjadi kepala dusun di Kampung Bajo. Pak Tama menjelaskan tidak hanya rumah penduduk saja yang berada di kampung di atas laut ini, tetapi ada juga pusat pemerintahan tingkat desa, aula, masjid, hingga penginapan umum. Jadi seperti sebuah kampung pada umumnya.

Welcome to Bajo
Selanjutnya Pak Tama menjelaskan bahwa mereka yang menghuni kampung ini adalah Suku Bajo dan suku lainnya jika ada yang menikah antar suku. Pak Tama sendiri aslinya orang Makassar, namun karena beliau menikah dengan seorang suku Bajo, akhirnya dia menetapkan diri untuk tinggal di kampung ini. Adapun alasan mengapa dia mau tinggal di tempat ini karena ia merasakan ketenangan karena jauh dari kebisingan kendaraan dan dekat dengan pekerjaan sehari-hari yaitu sebagai nelayan, jadi jika ingin melaut tinggal turun saja karena perahu selalu disandarkan di belakang rumahnya.

Kampung Bajo, Kampung di atas laut, Torosiaje Gorontalo
Lebih jauh Pak Tama menjelaskan bahwa suku Bajo ini banyak tersebar di pesisir pantai di seantero nusantara, bahkan sampai ada juga yang terdampar di Philipina. Awal mulanya kerajaan Bajo terdapat di wilayah Selat Malaka. Saat itu sang raja kehilangan puteri satu-satunya saat sedang berada di laut. Mendengar sang puteri hilang kemudian sang raja memerintahkan segenap pengawal dan rakyatnya untuk mencari keberadaan sang putri. Sebagai abdi kerajaan dan rakyat yang patuh, mereka para pengawal dan rakyat bahu membahu mencari keberadaan sang putri di lautan. Begitu sayangnya sang raja kepada putrinya, beliau memerintahkan kepada para pengawal dan rakyatnya yang akan melakukan pencarian hingga terucap kata, "Jangan kalian pulang sampai puteriku ditemukan!"

Dan sejak saat itu para pengawal dan rakyat suku Bajo mencari keberadaan sang puteri di segala penjuru lautan. Mereka tidak berani pulang karena tidak menemukan sosok sang puteri. Mereka lebih memilih tinggal di setiap pesisir pantai yang disinggahinya. Itulah sebabnya keberadaan suku Bajo ada di segenap penjuru nusantara. Mereka ada di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Wakatobi, Kendari, bahkan hingga ada yang terdampar kepulauan Sulu di Philipina Selatan dan Thailand. Dan semua itu mereka tinggal di atas laut!


Bagi Suku Bajo hidup di atas laut adalah sebuah pilihan. Mereka pernah mencoba untuk hidup seperti manusia normal di daratan, namun setelah dijalani tidak bertahan lama. Mereka kembali ke kehidupan di atas lautan. Menghirup udara laut, menikmati kesunyian dan deru ombak tanpa henti. Suku Bajo juga dikenal sebagai manusia yang mahir menahan nafas di dalam air hingga beberapa menit, bahkan ada yang bisa mencapai 11 menit. Kegiatan yang mereka lakukan adalah menyelam untuk mencari ikan atau lobster yang berada di dasar laut. terungkap juga Cerita tentang adanya "manusia ikan" yang selama ini keberadaannya menjadi misteri. Pak Tama mengungkapkan bahwa sang manusia itu memang ada. Seng - nama manusia ikan tersebut - hidup di lautan. Menyelam cukup lama dan hanya tidur di atas papan yang mengambang di laut. Namun sayang pada tahun 2007 meninggal dunia dalam usia 38 tahun. Saat ini keluarganya pun masih ada.

Sejak kecil anak-anak suku Bajo sudah mengenal laut
Setelah panjang lebar menceritakan sejarah suku Bajo, Pak Tama kemudian mengajak kami berkeliling kampung. Melihat kehidupan yang hampir sama dengan daratan, hanya bedanya di atas laut saja. Di sana ada warung, bengkel, bahkan nama jalanpun ada. Listrik dan air PDAM juga sudah masuk dan menjadi fasilitas yang memadai. Pondasi rumah yang ditopang oleh kayu Gopasa terlihat sangat kokoh, bahkan bisa bertahan hingga 30 tahun.
Suasana jalan di dalam Kampung Bajo
Satu lagi terungkap misteri keberadaan sejarah suku Bajo yang akan menjadi sebuah catatan budaya di nusantara. Tidak terasa waktu terus berjalan dan kami melanjutkan perjalanan lintas propinsi dari Gorontalo menuju Palu di Sulawesi Tengah yang kami tempuh dalam waktu 8 jam melewati daerah Kasimbar dan Toboli yang melewati pegunungan dan pesisir pantai. Rasa lelah hilang seketika sesaat setelah tiba di Kota Palu dan menyantap sup daging lembu yang menjadi kuliner khas daerah ini : KOLEDO


Koledo, kuliner khas Kota Palu. 

0 comments:

Post a Comment