Ketika mendapat tawaran untuk menjelajah Pulau Sulawesi melalui darat tanpa pikir panjang langsung saya terima. Never Say Maybe. Perjalanan ribuan kilometer dengan melewati seluruh propinsi di Sulawesi memang sulit untuk ditolak. Rasanya ini akan menjadi petualangan yang paling jauh yang pernah dilakukan. How far will you go? You decide! Sungguh suatu perjalanan yang luar biasa dan tidak terlupakan. Menikmati keanekaragaman budaya dan keindahan wisata alam. Berikut ini beberapa atraksi wisata dan budaya yang kami temui sepanjang perjalanan.
1. Pusat Kebudayaan Pa Dior | Tompaso, Sulawesi Utara
Misi pertama adalah mengunjungi Pusat Kebudayaan Sulawesi Utara Pa Dior di Tompaso. Kami disambut lagu "Maju Tak Gentar" yang dibawakan oleh alat musik tiup dari bambu yang berbentuk seruling dan terompet yang terbuat dari logam. Kami mencoba untuk meniup seruling tersebut tapi ternyata tidak semudah yang dibayangkan, berkali-kali mencoba ternyata sulit juga. Ternyata perlu trik khusus untuk memainkan alat musik ini.
Inilah Terompet Terbesar di dunia
2. Mengunjungi Suku Bajo yang Tinggal di atas laut | Gorontalo
Hari ke-2 destinasi yang akan dikunjungi adalah Kampung Suku Bajo yang berada di Desa Torosiaje, Gorontalo. Keunikan dari kampung ini adalah seluruh rumah dan fasilitasnya berada di atas laut. Ya benar-benar di atas lautan lepas pantai Torosiaje, Gorontalo. Saat kami mengunjungi kami menggunakan sampan tradisional yang dapat diisi penumpang sebanyak 5 orang. Dalam kurun waktu kurang lebih 10 menit kita sudah sampai di dermaga Kampung Bajo. Kami disambut oleh Pak Tama yang menjadi kepala dusun di Kampung Bajo. Pak Tama menjelaskan tidak hanya rumah penduduk saja yang berada di kampung di atas laut ini, tetapi ada juga pusat pemerintahan tingkat desa, aula, masjid, hingga penginapan umum. Jadi seperti sebuah kampung pada umumnya. Selanjutnya Pak Tama menjelaskan bahwa mereka yang menghuni kampung ini adalah Suku Bajo dan suku lainnya jika ada yang menikah antar suku. Pak Tama sendiri aslinya orang Makassar, namun karena beliau menikah dengan seorang suku Bajo, akhirnya dia menetapkan diri untuk tinggal di kampung ini.
Adapun alasan mengapa dia mau tinggal di tempat ini karena ia merasakan ketenangan karena jauh dari kebisingan kendaraan dan dekat dengan pekerjaan sehari-hari yaitu sebagai nelayan, jadi jika ingin melaut tinggal turun saja karena perahu selalu disandarkan di belakang rumahnya. Lebih jauh Pak Tama menjelaskan bahwa suku Bajo ini banyak tersebar di pesisir pantai di seantero nusantara, bahkan sampai ada juga yang terdampar di Philipina. Awal mulanya kerajaan Bajo terdapat di wilayah Selat Malaka. Saat itu sang raja kehilangan puteri satu-satunya saat sedang berada di laut. Mendengar sang puteri hilang kemudian sang raja memerintahkan segenap pengawal dan rakyatnya untuk mencari keberadaan sang putri. Sebagai abdi kerajaan dan rakyat yang patuh, mereka para pengawal dan rakyat bahu membahu mencari keberadaan sang putri di lautan. Begitu sayangnya sang raja kepada putrinya, beliau memerintahkan kepada para pengawal dan rakyatnya yang akan melakukan pencarian hingga terucap kata, "Jangan kalian pulang sampai puteriku ditemukan!"
Dan sejak saat itu para pengawal dan rakyat suku Bajo mencari keberadaan sang puteri di segala penjuru lautan. Mereka tidak berani pulang karena tidak menemukan sosok sang puteri. Mereka lebih memilih tinggal di setiap pesisir pantai yang disinggahinya. Itulah sebabnya keberadaan suku Bajo ada di segenap penjuru nusantara. Mereka ada di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Wakatobi, Kendari, bahkan hingga ada yang terdampar kepulauan Sulu di Philipina Selatan dan Thailand. Dan semua itu mereka tinggal di atas laut! Bagi Suku Bajo hidup di atas laut adalah sebuah pilihan. Mereka pernah mencoba untuk hidup seperti manusia normal di daratan, namun setelah dijalani tidak bertahan lama. Mereka kembali ke kehidupan di atas lautan. Menghirup udara laut, menikmati kesunyian dan deru ombak tanpa henti. Suku Bajo juga dikenal sebagai manusia yang mahir menahan nafas di dalam air hingga beberapa menit, bahkan ada yang bisa mencapai 11 menit. Kegiatan yang mereka lakukan adalah menyelam untuk mencari ikan atau lobster yang berada di dasar laut. terungkap juga Cerita tentang adanya "manusia ikan" yang selama ini keberadaannya menjadi misteri. Pak Tama mengungkapkan bahwa sang manusia itu memang ada. Seng - nama manusia ikan tersebut - hidup di lautan. Menyelam cukup lama dan hanya tidur di atas papan yang mengambang di laut. Namun sayang pada tahun 2007 meninggal dunia dalam usia 38 tahun. Saat ini keluarganya pun masih ada. Setelah panjang lebar menceritakan sejarah suku Bajo, Pak Tama kemudian mengajak kami berkeliling kampung. Melihat kehidupan yang hampir sama dengan daratan, hanya bedanya di atas laut saja. Di sana ada warung, bengkel, bahkan nama jalanpun ada. Listrik dan air PDAM juga sudah masuk dan menjadi fasilitas yang memadai. Pondasi rumah yang ditopang oleh kayu Gopasa terlihat sangat kokoh, bahkan bisa bertahan hingga 30 tahun. Satu lagi terungkap misteri keberadaan sejarah suku Bajo yang akan menjadi sebuah catatan budaya di nusantara. Tidak terasa waktu terus berjalan dan kami melanjutkan perjalanan lintas propinsi dari Gorontalo menuju Palu di Sulawesi Tengah yang kami tempuh dalam waktu 8 jam melewati daerah Kasimbar dan Toboli yang melewati pegunungan dan pesisir pantai. Rasa lelah hilang seketika sesaat setelah tiba di Kota Palu dan menyantap sup daging lembu yang menjadi kuliner khas daerah ini : KOLEDO
Koledo, kuliner khas Kota Palu.
Hari ke-3 kami awali dengan mengunjungi Polulele atau Jembatan Kuning yang menjadi salah satu landmark Kota Palu. Kemudian dilanjutkan menuju Pasangkayu yang ditempuh dalam waktu 2 jam. Sepanjang perjalanan terhampar pemandangan kebun sawit sejauh mata memandang. Kami melewati jalan trans Sulawesi yang sangat mulus. Pada satu jalan lurus bahkan bisa menempuh hingga 120 km per jam. Kondisi mobil masih stabil dan nyaman. Dari propinsi Sulawesi Tengah kami mulai masuk di Propinsi Sulawesi Barat. Dan akhirnya setelah menempuh perjalanan panjang sejauh 327 km selama 11 jam akhirnya kami tiba di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. Kami disambut oleh tarian selamat datang yang dibawakan oleh anak-anak begitu lincah dan bersemangatnya. Ada juga tarian yang salah satu penarinya adalah seekor kuda. Nama tariannya adalah Sayang Patudu atau Kuda Menari. Tarian ini menjadi tarian khas Mandar.
Disambut tarian Sayang Patudu atau Kuda Menari
Sarung tenun sutra Mandar memiliki warna-warna cerah atau terang seperti warna merah, kuning dengan desain garis geometris yang lebar. Selain membuat motif tradisional, mereka juga membuat motif modifikasi yang cukup banyak digemari. Bahan dasar kain Mandar adalah benang perak dan benang emas. Itulah yang menjadikan kain ini terlihat indah dan istimewa juga harga yang cukup tinggi. Harga jual kain Mandar berkisar antara Rp 300.000 hingga jutaan rupiah.
Contoh beberapa corak kain Mandar
Secara tradisional , motif sarung tenun sutra dirancang berdasarkan kasta atau tingkatan derajat mereka yang memakainya seperti keluarga kerajaan, pejabat pemerintah, pedagang kelas atas dan lain-lain. Namun dengan kondisi alam demokrasi seperti sekarang ini siapa saja berhak menggunakan kain mandar pilihannya, yang penting harganya cocok.
Setelah selesai mengeksplorasi budaya Mandar, kami juga dijamu dengan makanan khas daerah Mandar yang penuh selera. Dan lagi-lagi waktu yang membuat kami berpisah. Sekitar jam 9 malam kami harus segera meninggalkan Majene menuju destinasi berikutnya.
4. Selamat Datang di Toraja | Sulawesi Selatan
Setelah melalui perjananan panjang, akhirnya kami tiba di tugu selamat datang. Tapi ternyata perjalanan masih jauh. Masih melewati Kota Rantepao dan beberapa kampung. Sekitar 2 jam dari tugu selamat datang tadi kita baru sampai di tujuan yaitu Desa Adat Lembang Tadongkon, Kesu. Di tempat ini kami disambut oleh nyanyian dan tarian Pa'gellu yang dibawakan oleh anak-anak. Kemudian disuguhi penganan khas dan kopi yang sudah melegenda yaitu Kopi Toraja. Indah sekali rasanya menyeruput kopi Toraja di tempat asalnya, apalagi sambil dihibur oleh tari-tarian kebudayaan setempat.
Setelah selesai mengeksplorasi budaya Mandar, kami juga dijamu dengan makanan khas daerah Mandar yang penuh selera. Dan lagi-lagi waktu yang membuat kami berpisah. Sekitar jam 9 malam kami harus segera meninggalkan Majene menuju destinasi berikutnya.
4. Selamat Datang di Toraja | Sulawesi Selatan
Setelah melalui perjananan panjang, akhirnya kami tiba di tugu selamat datang. Tapi ternyata perjalanan masih jauh. Masih melewati Kota Rantepao dan beberapa kampung. Sekitar 2 jam dari tugu selamat datang tadi kita baru sampai di tujuan yaitu Desa Adat Lembang Tadongkon, Kesu. Di tempat ini kami disambut oleh nyanyian dan tarian Pa'gellu yang dibawakan oleh anak-anak. Kemudian disuguhi penganan khas dan kopi yang sudah melegenda yaitu Kopi Toraja. Indah sekali rasanya menyeruput kopi Toraja di tempat asalnya, apalagi sambil dihibur oleh tari-tarian kebudayaan setempat.
Penganan khas dan Kopi Toraja
Suasana di dalam Tongkonan Di dalam Tongkonan sudah disediakan bantal dan alas tidur yang peraturannya tidak boleh dipindah-pindah. Jadi kepala kita harus tidur di atas bantal yang sudah ditentukan. Tongkonan yang kami inapi cukup sederhana, hanya ada tiga bagian ruang, di depan, tengah dan belakang. Saya sendiri memilih tidur di bagian depan agar bisa melihat pemandangan Tongkonan lainnya yang berjejer di depan rumah. Rasa dingin langsung menusuk ketika waktu sudah menunjukkan tengah malam. Rasanya seperti AC 20 derajat. Segera kami ambil jaket dan selimut sebagai penghangat. Tidak lama kami semua terlelap. Selamat pagi dari Tana Toraja. Segelas kopi Toraja kontan membuat badan menjadi hangat di tengah udara yang dingin. Tidak berapa lama segera keluar makanan untuk sarapan pagi. Jika dilihat dari menu-nya sih sepertinya makanan berat, ada nasi dan lauk pauk plus jus terong belanda sebagai dessert. Tapi akhirnya habis juga, lumayan sebagai penambah energi karena hari ini akan eksporasi Tana Toraja di beberapa tempat. Setelah sarapan, tim berangkat menuju destinasi pertama yaitu Londa. sebuah tebing berbatu dan curam yang dipakai sebagai pemakaman oleh leluhur sejak abad 10 Masehi. Jenazah terlebih dahulu dimasukkan ke dalam peti kemudian disimpan di dalam tebing. Lokasi penyimpanan disusun berdasarkan kasta. Semakin tinggi kasta, semakin tinggi dia disimpan. Khusus untuk para bangsawan juga dibuatkan patung yang dipajang di bagian depan tebing. Selain itu ada juga dua buah goa yang didalamnya tersimpan ratusan kerangka jenazah, ada yang tersimpan di dalam peti, ada juga yang tergeletak begitu saja. Kami semua memasuki goa yang gelap dan sempit, bahkan sampai harus jongkok untuk memasukinya.
Tebing Londa
Patung bangsawan menyambut para wisatawan
Suasana di dalam goa Londa yang sempit
Kerangka Lobo dan Andui, kisah Romeo & Juliet dari Tana Toraja
Setelah selesai menelusuri goa Londa,perjalanan dilanjutkan menuju Kete Kesu, sebuah permukiman tua di Tana Toraja. Konon pemukiman ini sudah ada sejak 800 tahun yang lalu dan sampai saat ini masih berdiri dengan megah, Tentu dengan beberapa perbaikan dan renovasi jika ada kerusakan. Dan ketika memasuki kawasan ini rasanya seperti terlempar pada masa lalu. Dengan jejeran bangunan Tongkonan yang rapi, termasuk dengan ukiran-ukiran khas. Sungguh kami dibuat takjub dengan kebudayaan di Tana Toraja ini. Benar-benar amazing!
Pemukiman Tua Kete Kesu
Pemukiman di Kete Kesu
Bertemu dengan Kerbau Bonga yang harganya sekitar Rp 300 jutaan
Destinasi berikut yang dikunjungi adalah Baby Grave di Kambira. Berupa kuburan bayi ditanam di dalam pohon Tarra. Jadi jika ada bayi yang meninggal, dapat "dimakamkan" di pohon ini dengan syarat bayi tersebut belu tumbuh gigi. Caranya adalah bayi yang sudah meninggal dimasukkan ke dalam batang pohon yang sudah dilubangi, kemudian ditutup ijuk. Bayi dimasukkan dengan cara duduk dan tidak menghadap kerumahnya agar orangtuanya tidak merasa sedih berkelanjutan. Adapun mengapa bayi tersebut dimasukkan ke dalam pohon, saat itu dipercaya bahwa bayi tersebut tidak meninggal, tapi hanya pindah orangtua. Jadi pohon itu menjadi ibu barunya dengan memberikan air susu berupa getah pohon. Satu pohon bisa diisi oleh sekitar 10 bayi. Semakin tinggi ditanam, semakin tinggi kasta bayi tersebut. Pohon yang kami datangi sudah berusia sekitar 900 tahun. Masih berdiri kokoh, namun sebagian sudah lapuk dan bagian atasnya sudah patah 7 tahun lalu. Bayi terakhir yang dimakamkan terjadi pada tahun 1950.
Baby Grave
Sungguh luar biasa kebudayaan yang ada di Tana Toraja ini, memang pantas menjadi salah satu andalan pariwisata di Indonesia. Bukan hanya wisatawan lokal saja yang tertarik tapi termasuk wisatawan asing dari berbagai negara seperti Belanda, Jerman, Jepang, dll. Hal ini kami ketahui ketika sedang menyantap makan siang di sebuah rumah makan yang pengunjungnya orang asing semua, hanya tim kami yang berasal dari Indonesia. Sungguh budaya di Tanah Toraja benar-benar Amazing!
5. Eksplorasi Tanjung Bira | Sulawesi Selatan
Hari masih gelap ketika kami tiba di Tanjung Bira setelah menempuh perjalanan sejauh 447 km dari Tana Toraja. Melewati kota-kota Makale, Enrekang, Sidrap, Watampone, Sinjai dan Bulukumba. Kurang lebih memakan waktu sekitar 11 jam. Sesuai dengan rencana awal, kami akan menginap di tenda di tepi Pantai Pasir Putih Tanjung Bira. Saya berjalan dalam gelap, menuruni tangga menuju tenda yang sudah disediakan. Menjatuhkan ransel dan segera merebahkan diri karena badan sudah terlalu lelah. Dalam hitungan detik sudah terlelap. Deburan ombak sayup-sayup terdengar. Cahaya matahari pagi menyusup ke dalam tenda. Dengan mata berat dan muka bantal sedikit memaksakan diri untuk bangun untuk mengabadikan suasana matahari terbit. Menikmati gelap menjadi terang adalah sebuah pengalaman langka. Dan hal ini baru saja saya dapatkan. Menyaksikan fajar jingga merekah, hingga berubah menjadi terang menyilaukan. Ombak yang tenang mulai bergelora. Seakan mengajak untuk bermain bersama. Tidak kuasa menolak hasrat, segera raga berlari menyambut dan membasahi diri menghempaskan segala penat dan lelah. Seketika badan menjadi bugar kembali. Ah kenapa menjadi puitis begini. Namun memang suasana pantai ini begitu romantis karena didukung oleh ombak yang tenang dan pasir putih yang halus. Inilah Tanjung Bira, tempat paling selatan di Pulau Sulawesi. Nampak dari kejauhan sebuah tanjung yang menjorok ke laut lepas.
Hari masih gelap ketika kami tiba di Tanjung Bira setelah menempuh perjalanan sejauh 447 km dari Tana Toraja. Melewati kota-kota Makale, Enrekang, Sidrap, Watampone, Sinjai dan Bulukumba. Kurang lebih memakan waktu sekitar 11 jam. Sesuai dengan rencana awal, kami akan menginap di tenda di tepi Pantai Pasir Putih Tanjung Bira. Saya berjalan dalam gelap, menuruni tangga menuju tenda yang sudah disediakan. Menjatuhkan ransel dan segera merebahkan diri karena badan sudah terlalu lelah. Dalam hitungan detik sudah terlelap. Deburan ombak sayup-sayup terdengar. Cahaya matahari pagi menyusup ke dalam tenda. Dengan mata berat dan muka bantal sedikit memaksakan diri untuk bangun untuk mengabadikan suasana matahari terbit. Menikmati gelap menjadi terang adalah sebuah pengalaman langka. Dan hal ini baru saja saya dapatkan. Menyaksikan fajar jingga merekah, hingga berubah menjadi terang menyilaukan. Ombak yang tenang mulai bergelora. Seakan mengajak untuk bermain bersama. Tidak kuasa menolak hasrat, segera raga berlari menyambut dan membasahi diri menghempaskan segala penat dan lelah. Seketika badan menjadi bugar kembali. Ah kenapa menjadi puitis begini. Namun memang suasana pantai ini begitu romantis karena didukung oleh ombak yang tenang dan pasir putih yang halus. Inilah Tanjung Bira, tempat paling selatan di Pulau Sulawesi. Nampak dari kejauhan sebuah tanjung yang menjorok ke laut lepas.
Beginilah suasana saat kemping di Tanjung Bira
Setelah puas bermain air di pantai, kami segera mandi, sarapan dan bersiap-siap untuk mengunjungi destinasi yang akan dituju yaitu tempat pembuatan kapal Phinisi yang melegenda. Lokasinya tidak jauh dari Tanjung Bira ini. Namun sebelum berangkat saya menyempatkan untuk mengabadikan beberapa spot indah yang tidak boleh dilewatkan. Selanjutnya kami mengunjungi tempat pembuatan kapal Phinisi. Kapal layar tradisional khas asal Indonesia yang berasal dari Suku Bugis dan Suku Makassar di Sulawesi ini dikenal sebagai kapal yang tangguh mengarungi lautan seganas apapun. Sudah ada sejak berabad-abad lalu, diperkirakan sudah ada sebelum tahun 1.500an dan masih bertahan hingga kini. Bahkan pemerintah pernah membuat kapal Phinisi dengan nama "Phinisi Nusantara" dan berhasil mengelilingi dunia. Luas biasa!
Tempat pembuatan kapal Phinisi yang kami kunjungi berada di Desa Tanah Beru, Kecamatan Banto Bahari, Kabupaten Bulukumba. Pemiliknya Bapak Sarifudin memaparkan bahwa pembuatan kapal phinisi ini sudah dilakukan oleh kakek buyutnya. Jadi sudah turun temurun. Ilmu yang didapatnya pun sangat sederhana dan lebih banyak otodidak. Tidak ada gambar desain dalam setiap pembuatan kapalnya. Cukup jelaskan panjang kapal yang diinginkan dan timnya akan segera membuatnya dalam kurun waktu 3-6 bulan. Tergantung beratnya mulai dari 1 ton hingga 100 ton. Adapun biaya pembuatan kapal dimulai dari Rp 30 juta dan bahkan beliau pernah mendapat order pembuatan kapal senilai Rp 10 Milyar dari pembeli asal Amerika Serikat. Bahan baku utama pembuatan kapal Phinisi ini adalah kayu besi yang didatangkan dari Kendari. Bahan kayu lainnya adalah kayu biti sebagai bahan pendukung. Beliau menjamin bahwa kapal Phinisi buatannya bisa bertahan selama puluhan tahun dan sudah terbukti hingga saat ini tidak komplain dari pembelinya. Selesai berbincang kami diajak mengunjungi kediaman Pak Sarifudin yang sederhana melanjutkan pembicaraan. Namun karena waktu yang padat,kami harus meninggalkan tempat tersebut karena akan mengunjungi destinasi lain yaitu pemukiman Suku Kajang di Desa Tanatoa, Bulukumba. Suku Kajang berada di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba dengan luas wilayah 3000 hektar, 600 diantaranya hutan adat. Suku ini dikenal sebagai suku yang menolak gaya hidup modern. Di desa yang jumlah penduduknya sekitar 3.947 jiwa tersebut tidak boleh ada listrik, tidak boleh ada peralatan elektronik, tidak boleh ada kendaraan bermotor dan segala hal yang berbau modern lain. Mirip dengan suku Baduy di Banten. Peraturan adat lainnya adalah setiap tamu yang berkunjung harus menggunakan pakaian hitam hitam. Termasuk penduduk desa Tana Toa juga harus menggunakan pakaian warna gelap.
Tempat pembuatan kapal Phinisi yang kami kunjungi berada di Desa Tanah Beru, Kecamatan Banto Bahari, Kabupaten Bulukumba. Pemiliknya Bapak Sarifudin memaparkan bahwa pembuatan kapal phinisi ini sudah dilakukan oleh kakek buyutnya. Jadi sudah turun temurun. Ilmu yang didapatnya pun sangat sederhana dan lebih banyak otodidak. Tidak ada gambar desain dalam setiap pembuatan kapalnya. Cukup jelaskan panjang kapal yang diinginkan dan timnya akan segera membuatnya dalam kurun waktu 3-6 bulan. Tergantung beratnya mulai dari 1 ton hingga 100 ton. Adapun biaya pembuatan kapal dimulai dari Rp 30 juta dan bahkan beliau pernah mendapat order pembuatan kapal senilai Rp 10 Milyar dari pembeli asal Amerika Serikat. Bahan baku utama pembuatan kapal Phinisi ini adalah kayu besi yang didatangkan dari Kendari. Bahan kayu lainnya adalah kayu biti sebagai bahan pendukung. Beliau menjamin bahwa kapal Phinisi buatannya bisa bertahan selama puluhan tahun dan sudah terbukti hingga saat ini tidak komplain dari pembelinya. Selesai berbincang kami diajak mengunjungi kediaman Pak Sarifudin yang sederhana melanjutkan pembicaraan. Namun karena waktu yang padat,kami harus meninggalkan tempat tersebut karena akan mengunjungi destinasi lain yaitu pemukiman Suku Kajang di Desa Tanatoa, Bulukumba. Suku Kajang berada di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba dengan luas wilayah 3000 hektar, 600 diantaranya hutan adat. Suku ini dikenal sebagai suku yang menolak gaya hidup modern. Di desa yang jumlah penduduknya sekitar 3.947 jiwa tersebut tidak boleh ada listrik, tidak boleh ada peralatan elektronik, tidak boleh ada kendaraan bermotor dan segala hal yang berbau modern lain. Mirip dengan suku Baduy di Banten. Peraturan adat lainnya adalah setiap tamu yang berkunjung harus menggunakan pakaian hitam hitam. Termasuk penduduk desa Tana Toa juga harus menggunakan pakaian warna gelap.
Selamat Datang di Desa Tana Toa
Bersama Panglima Tana Toa yang bersahaja
Itulah salah satu kelebihan dari suku Kajang. Atraksi ini dimaksudkan jika ada pencuri di desa tersebut dan tidak ada yang mau mengaku, maka orang-orang yang dicurigai atau berada di sekitar tempat kejadian disuruh memegang linggis panas tersebut dan jika ada yang tangannya terbakar dialah pencurinya. Selanjutnya kami diajak memasuki ke bagian dalam desa. Nampak beberapa penduduk yang sedang mandi di sebuah sungai yang hampir kering. Termasuk anak-anak yang sedang mengambil air dan membawa ke rumahnya dengan jarak lumayan jauh. Rencananya kami akan mengunjungi ketua adat Amma Toa namun dengan berbagai syarat : tidak boleh di foto dan tidak boleh ada rekaman pembicaraan. Entah apa alasan dari syarat tersebut. Akhirnya kami bisa menemui kepala adat Amma Toa dirumahnya yang bersahaja. Rumah panggung yang terbuat dari kayu itu hanya seukuran rumah tipe 21. Hanya ada satu ruangan tidur dan ruangan utama yang bersatu dengan dapur.
Istana Amma Toa yang sederhana
Amma Toa duduk bersila di pojok ruangan. Sang juru bicara memperkenalkan maksud dan tujuan kedatangan kami. Mereka menggunakan bahasa Konjo, yaitu bahasa mereka sendiri sehingga kami tidak tahu apa yang sedang dibicarakan. Namun dari ekspresi wajah Amma Toa yang sangat berwibawa, terlihat beliau kadang terlihat senang, kadang juga terlihat marah dengan mengetuk-ngetukan keris kecil yang selalu dipegangnya. Mereka asyik mengobrol sekitar setengah jam dan kami hanya bengong tidak tahu apa yang harus diperbuat. Kami memberi isyarat untuk pamit dan disadari oleh Amma Toa. Sebelum pulang kami semua bersalaman kembali dan ditanya nama masing-masing, sebagai bentuk hormat Amma Toa menyebut kembali nama kita yang disebutkan tadi. Suku Kajang adalah salah satu kearifan lokal dari Bulukumba Sulawesi Selatan yang keberadaannya patut dipertahankan untuk menjaga kebudayaan nusantara. Perjalanan kami lanjutkan kembali. Kami harus segera menuju Pelabuhan Bajoe, untuk mengejar kapal ferry yang akan mengantar tim menuju Pelabuhan Kolaka di Sulawesi Tenggara, propinsi ke-6 dan terakhir yang akan kami kunjungi.
6. Menikmati Tarian dan Kuliner Khas Kendari | Sulawesi Tenggara
Setelah semalaman mengarungi Teluk Bone dari Pelabuhan Bajoe akhirnya setelah 8 jam sampai juga di Pelabuhan Kolaka. Tim kami sendiri yang menggunakan kapal ferry tiba sekitar jam 8 pagi dan beristirahat di penginapan. Kami melanjutkan perjalanan menuju Kendari. Sesampainya di Kendari kami disambut oleh para penari muda dari Sanggar 28 Kendari. Mereka begitu bersemangat memberikan tarian persahabatan "Malulo" tarian khas daerah Kendari. Selain itu ada juga tarian Kalegoa dari Buton, tari Linda dari Muna, tari Wa Ode Wau dari Wakatobi.
Setelah semalaman mengarungi Teluk Bone dari Pelabuhan Bajoe akhirnya setelah 8 jam sampai juga di Pelabuhan Kolaka. Tim kami sendiri yang menggunakan kapal ferry tiba sekitar jam 8 pagi dan beristirahat di penginapan. Kami melanjutkan perjalanan menuju Kendari. Sesampainya di Kendari kami disambut oleh para penari muda dari Sanggar 28 Kendari. Mereka begitu bersemangat memberikan tarian persahabatan "Malulo" tarian khas daerah Kendari. Selain itu ada juga tarian Kalegoa dari Buton, tari Linda dari Muna, tari Wa Ode Wau dari Wakatobi.
Tari Malulo
Kami juga disuguhi makanan khas daerah/ Kuliner yang disajikan adalah Sinonggi, makanan khas Suku Tolaki dari Sulawesi Tenggara. Sepintas makanan ini mirip Papeda kuliner khas dari Papua dan Maluku. Dan ternyata bahan dasarnya sama yaitu sari pati sagu, namun berbeda dalam penyajiannya. Untuk Sinonggi, jika tepung sudah masak tidak dicampur dengan sayur atau kuah ikan, tergantung selera masing-masing. Saya sendiri awalnya sempat ragu karena dilihat dari bentuknya yang seperti lem. Namun setelah disajikan dan dicampur dengan kuah ikan kuning, plus sambal dabu-dabu, segera saja makanan tersebut tandas dalam piring.
Aneka Kuliner Khas Sulawesi Tenggara
7. Menikmati Taman Laut Wakatobi | Sulawesi Tenggara
Dari Kendari perjalanan kembali dilanjutkan ke Wakatobi dengan menggunakan pesawat. Penerbangan dari Bandara Haluoleo Kendari menuju Bandara Matahora, Wakatobi dapat ditempuh dalam waktu 45 menit. Namun karena keterbatasan bandara hanya bisa didarati oleh pesawat kecil. Kami menggunakan pesawat tipe ATR 72 tipe 500 berbaling-baling yang hanya mengangkut 72 penumpang. Jika ingin berkunjung ke sana harus sudah pesan jauh-jauh hari karena pesawat ini hanya satu kali saja melayani Kendari - Wakatobi PP.
Dari Kendari perjalanan kembali dilanjutkan ke Wakatobi dengan menggunakan pesawat. Penerbangan dari Bandara Haluoleo Kendari menuju Bandara Matahora, Wakatobi dapat ditempuh dalam waktu 45 menit. Namun karena keterbatasan bandara hanya bisa didarati oleh pesawat kecil. Kami menggunakan pesawat tipe ATR 72 tipe 500 berbaling-baling yang hanya mengangkut 72 penumpang. Jika ingin berkunjung ke sana harus sudah pesan jauh-jauh hari karena pesawat ini hanya satu kali saja melayani Kendari - Wakatobi PP.
Wakatobi sendiri adalah nama sebuah kabupaten di Sulawesi Tenggara yang merupakan singkatan dari nama-nama pulau di wilayahnya yaitu Pulau Wangiwangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko yang keseluruhannya terdiri dari delapan kecamatan. Wakatobi termasuk satu dari 50 taman nasional yang keberadaannya harus dilindungi. Taman Nasional Wakatobi yang telah ditetapkan sejak tahun 1996 itu memiliki luas 1,39 juta hektar dengan kekayaan bawah laut yang menyimpan begitu banyak keanekaragaman hayati laut termasuk melindungi kondisi terumbu karang yang masuk dalam prioritas utama penyelamatan konservasi laut di Indonesia. Setelah tiba di Bandara Matahora, kami segera menuju pelabuhan karena perjalanan akan langsung dilanjutkan menuju Pulau Tomia dengan menggunakan perahu bermotor. Kami disuguhi pemandangan yang menakjubkan. Saat di dermaga saja pemandangan laut yang berwarna hijau gradasi biru bisa menyegarkan suasana ditengah cuaca yang terik. Segera setelah melepas sauh, perahu mulai mengarungi lautan. Waktu sudah menunjukkan tengah hari dan makan siang kami lakukan di atas perahu sambil menikmati indahnya pemandangan laut dan angin segar. Seiring waktu sinyal komunikasi semakin melemah. Kita tidak bisa share lagi keindahan Wakatobi melalui smartphone. Kami hanya bisa memotret dan merekam lalu menyimpannya. Kurang lebih 3 (tiga) jam kami mengarungi lautan dan akhirnya tiba di Dermaga Pulau Tomia menjelang sore. Perjalanan cukup panjang dan alunan ombak rupanya membuat cepat lapar dan ketika melihat warung bakso di ujung dermaga segera saja seluruh tim menyerbu warung tersebut. Duh jauh-jauh ke Tomia cuma mau makan warung bakso yang pemiliknya asli dari Sragen :)
Setelah selesai kami segera dibagi kamar untuk penginapan. Karena keterbatasan tempat tim dibagi tiga penginapan yang rata-rata disulap dari rumah penduduk, Ada yang kebagian di hotel terapung yang lokasinya tepat di bibir pantai, ada juga di penginapan yang berada di tengah permukiman penduduk. Saya sendiri kebagian di penginapan yang juga dijadikan basecamp. Esok paginya kami melakukan diving. Spot pertama yang diselami adalah "Waha Bay". Saya sempat nervous juga karena terakhir menyelam setahun lalu di Pulau Komodo, jadi perlu adaptasi lagi. Memastikan masker bersih dan tidak masuk air, mengempiskan BCD dan secara naluriah melakukan squeeze. Awalnya adalah berupa hamparan pasir di kedalaman sekitar 8 meter. Namun ketika menyusur lebih dalam lagi kami menemukan terumbu karang yang indah dan berwarna warni. Ada ikan-ikan yang kecil yang menari-nari didalamnya. Ada ikan badut alias nemo, ada pula ikan batu yang bentuknya seperti batu. Tapi jangan coba-coba menyentuhnya karena memiliki racun yang mematikan. Tidak terasa kedalaman sudah mencapai kisaran angka 18 meter, sementara tabung oksigen sudah menipis diangka 50 bar. Segera saya menghubungi buddy David Setyawan dan minta izin untuk naik dengan memberikan kode jempol ke atas (seperti like di Facebook). Ternyata diapun sudah mencapai batas limit. Akhirnya kita sama-sama naik ke atas. Kurang lebih 30 menit berada di dalam air. Selanjutnya kita istirahat dulu karena instruktur akan membimbing para newbie yang akan melakukan Discovery Dive di kapal sebelah.
Spot berikut yang akan kami selami adalah "Mari Mabuk" dan "Roma". Kenapa namanya mari mabuk? Nanti liat dan rasakan saja sendiri. Begitu ucap dokter Yudi yang membuat kami semakin penasaran. Dengan melakukan teknik giant strike kami langsung masuk ke kedalaman 15 meter. Dan benar saja, kami semua dibuat mabuk. Banyak sekali ikan dimana-mana dengan aneka ragam warna terumbu karang. Indah sekali. Serasa ada di National Geographic! Tiba-tiba ada ikan yang melintas di depan mata. Beberapa photographer sibuk memotret ikan-ikan dan terumbu karang yang warna-warni. Dan ada satu kejadian unik yang baru pertama kali saya alami selama menyelam. Tiba-tiba air laut yang hangat berubah menjadi dingin. Sedingin es. Awalnya takut juga apakah ada masalah dengan tubuh saya. Tapi tidak lama kembali menjadi hangat lagi. Ketika saya tanya instruktur saat sudah di atas fenomena itu adalah arus air di dalam laut dan itu kerap terjadi.
Setelah selesai kami segera dibagi kamar untuk penginapan. Karena keterbatasan tempat tim dibagi tiga penginapan yang rata-rata disulap dari rumah penduduk, Ada yang kebagian di hotel terapung yang lokasinya tepat di bibir pantai, ada juga di penginapan yang berada di tengah permukiman penduduk. Saya sendiri kebagian di penginapan yang juga dijadikan basecamp. Esok paginya kami melakukan diving. Spot pertama yang diselami adalah "Waha Bay". Saya sempat nervous juga karena terakhir menyelam setahun lalu di Pulau Komodo, jadi perlu adaptasi lagi. Memastikan masker bersih dan tidak masuk air, mengempiskan BCD dan secara naluriah melakukan squeeze. Awalnya adalah berupa hamparan pasir di kedalaman sekitar 8 meter. Namun ketika menyusur lebih dalam lagi kami menemukan terumbu karang yang indah dan berwarna warni. Ada ikan-ikan yang kecil yang menari-nari didalamnya. Ada ikan badut alias nemo, ada pula ikan batu yang bentuknya seperti batu. Tapi jangan coba-coba menyentuhnya karena memiliki racun yang mematikan. Tidak terasa kedalaman sudah mencapai kisaran angka 18 meter, sementara tabung oksigen sudah menipis diangka 50 bar. Segera saya menghubungi buddy David Setyawan dan minta izin untuk naik dengan memberikan kode jempol ke atas (seperti like di Facebook). Ternyata diapun sudah mencapai batas limit. Akhirnya kita sama-sama naik ke atas. Kurang lebih 30 menit berada di dalam air. Selanjutnya kita istirahat dulu karena instruktur akan membimbing para newbie yang akan melakukan Discovery Dive di kapal sebelah.
Spot berikut yang akan kami selami adalah "Mari Mabuk" dan "Roma". Kenapa namanya mari mabuk? Nanti liat dan rasakan saja sendiri. Begitu ucap dokter Yudi yang membuat kami semakin penasaran. Dengan melakukan teknik giant strike kami langsung masuk ke kedalaman 15 meter. Dan benar saja, kami semua dibuat mabuk. Banyak sekali ikan dimana-mana dengan aneka ragam warna terumbu karang. Indah sekali. Serasa ada di National Geographic! Tiba-tiba ada ikan yang melintas di depan mata. Beberapa photographer sibuk memotret ikan-ikan dan terumbu karang yang warna-warni. Dan ada satu kejadian unik yang baru pertama kali saya alami selama menyelam. Tiba-tiba air laut yang hangat berubah menjadi dingin. Sedingin es. Awalnya takut juga apakah ada masalah dengan tubuh saya. Tapi tidak lama kembali menjadi hangat lagi. Ketika saya tanya instruktur saat sudah di atas fenomena itu adalah arus air di dalam laut dan itu kerap terjadi.
Pemandangan bawah laut di Wakatobi.
30 menit kami habiskan di area mari mabuk, kemudian dilanjutkan ke wilayah Roma. Tempat ini mirip dengan colloseum, itulah mengapa disebut Roma. Tidak lupa kami membentangkan spanduk Terios 7 Wonders untuk dokumentasi. Arus mulai datang, sebelum terbawa arus akhirnya kami segera naik ke perahu.
Bergaya di atas Roma (Foto : Wulan)
Pemandangan yang biasa dilihat di TV kini tampak di depan mata. Sungguh suatu pengalaman yang luar biasa. Tidak terasa saat kontrol persediaan udara sudah mencapai titik kritis 50 bar. Bersama buddy David Setiawan memutuskan untuk segera naik namun sebelumnya melakukan safety stop terlebih dahulu selama 3 menit sambil menikmati pemandangan sebelum naik. Dan keindahan semakin sempurna ketika kepala muncul di atas permukaan laut yang pertama terlihat adalah semburat mentari yang bersiap untuk tenggelam. Rasanya ingin waktu berhenti sejenak menikmati senja hari itu.
Saya masih tidak percaya bisa menjelajahi Sulawesi melalui darat selama 13 hari, perjalanan panjang hingga ratusan bahkan ribuan kilometer. Tentu ini menambah pengalaman dan wawasan tentang suatu tempat dari sisi budaya dan wisata dengan segala keunikannya.
5 comments:
Wooooow... subhanalloh, perjalanan indah dan menyenangkan... bismillah semoga saya juga bisa ikut menikmati perjalanannya :) Saya setuju banget dan suka dengan Quote "Satu pesan jangan ragu jika ada kesempatan. Jangan pernah katakan mungkin, jawab ya dengan tegas. Never Say Maybe!"
Sip, semoga terwujud ya apa yg diimpikannya. Saya juga awalnya cuma mimpi kok
Salam
kita harus bangga dengan negeri kita banyak hal - hal yang menarik yang kita tonjolkan kepada dunia luar bahwa indonesia itu Surga ..mari kita jaga ,rawat dan lestarikan ..semangat
www.discoverykomodoadventure.com
terimakasi atas informasinya sangat membantu .
Setuju dan terima kasih
wah telat saya bacanya, pak :)
udah daftar sih dari beberapa bulan lalu,he he he
*ke tkp lagi ah
Post a Comment