Friday, September 6, 2013

Mengenang Bencana Merapi di Musium Sisa Hartaku

Letusan Gunung Merapi pada tahun 2010 menyisakan duka yang mendalam bagi desa-desa yang berada di kaki atau lereng Gunung Merapi. Termasuk Desa Kinahrejo, Cangkringan, Sleman yang merupakan kediaman keluarga Mbak Maridjan.

Tiga tahun setelah pasca erupsi, warga mulai bangkit. Perekonomian berputar kembali, baik dari sektor pertanian, peternakan dan pariwisata. Kini berkembang pariwisata yang di sebut "Lava Tour" bagi pengunjung yang ingin melihat sisa-sisa keganasan muntahan awan panas yang mencapai 4.000 derajat celcius itu.

Kini Merapi sudah kembali tidur. Membiarkan manusia kembali menata kehidupannya, dengan senantiasa menjaga lingkungan agar terjadi hubungan yang harmonis dengan alam sekitarnya.

Ada sebuah kutipan perbincangan antara Mbah Maridjan dan Putranya Asihono sebelum terjadi erupsi pada tanggal 26 Oktober 2010. Asihono mengatakan kepada bapaknya bahwa ia pamit untuk turun mengungsi dan mengajak bapak ikut serta. Namun Mbak Maridjan menjawab, "Wis ira susah, aku arep ndedonga bae. Nek aku melu mudhun mengko diguyu pithik. yang artinya, "Sudah, saya tidak usah mengungsi, saya mau berdoa saja, kalau saya ikut mengungsi nanti saya diketawain ayam".

Itulah percakapan terakhir antara Asihono dan bapaknya, sampai jenasahnya ditemukan meninggal dalam keadaan sujud di hadapan Allah SWT. Menurut Mbah Maridjan, Merapi adalah surga perantauan leluhur Mataram yang harus dijaga dan dilestarikan. Itu adalah salah satu tugas yang disanggupi oleh Mbah Maridjan sebagai juru kunci ketika ia diangkat Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang diemban hingga akhir hayatnya.

***

Rabu 4 September 2013 saya berkesempatan untuk mengunjungi Merapi. Bersama rombongan satu bis, tepat pukul 9.00 pagi kami sudah berada di pintu masuk. Dari menggunakan bis, kami berganti kendaraan dengan mobil berpenggerak 4 roda, karena kondisi medan yang terjal dan berbatu. Adapun persiapan yang harus kami sediakan adalah kacamata dan masker karena disana banyak debu yang bertebaran, kaos lengan panjang karena disana cukup panas, tapi angin dingin cukup menusuk serta tidak lupa menggunakan helm.

Tugu Elang Jawa, Pintu Masuk Merapi dari Tlogo Putri
Mulai menjelajah dengan kendaraan terbuka. Siap tempur!
Mulai memasuki kawasan berdebu. Disinilah gunanya kacamata dan masker
Masih ada bangunan sisa-sisa keganasan erupsi Merapi

Tujuan pertama kami adalah Musium Sisa Hartaku yang berada di Dusun Petung. Dalam bayangan saya adalah sebuah musium yang dibangun permanen untuk mengenang tragedi tiga tahun lalu tersebut. Namun ketika kita sudah sampai disana, musium tersebut adalah sebuah rumah yang juga menjadi salah satu korban keganasan erupsi Merapi. Pemiliknya adalah Mbok Wati, seorang wanita yang sudah renta, namun selamat dari terjangan wedhus gembel.

Musium Sisa Hartaku
Disana diperlihatkan beberapa barang yang masih tersisa, walau sebagian besar sudah dalam kondisi hancur. Ada juga kerangka sapi yang hanya tinggal tengkorak. Bisa dibayangkan jika terjadi kepada manusia. Ada sebuah jam yang mati tepat menunjukkan waktu saat terjadinya erupsi jam 12 :05 hari jumat 5 November 2010.
      

Bukti Jam Erupsi
Selain itu banyak dipajang barang-barang yang sudah setengah hancur, seperti koleksi CD dan kaset, piring, gelas, TV, HABIS SUDAH SEMUA, seperti yang terpampang dalam tulisan yang terpajang di dinding Mbok Wati.

Mbok Wati di rumahnya yang dijadikan musium
Ada satu tulisan atau kalimat di sebuah dinding yang menyitir bait terakhir ramalan Jayabara, membuat trenyuh orang yang membacanya, seperti yang tertulis dibawah ini :

"Sak bejo bejone wong kang lali
isih bejo wong kang eling lan wasphodo"

Se beruntung2nya orang yang lupa, Masih beruntung yang ingat dan waspada
Usai singgah di Musium Sisa Hartaku, perjalanan kami lanjutkan ke Dusun Kaliadem, Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman. Tempat ini merupakan salah satu lokasi yang paling parah terkena erupsi . Disini juga kami menemukan bunker yang menjadi tempat perlindungan bagi penduduk saat bencana terjadi. Cukup banyak nyawa yang terselamatkan dengan adanya bunker ini. 

Tampak luar bunker

Suasana didalam bunker
Kaliadem yang menjadi berkah bagi para penambang batu

Perjalanan kami lanjutkan ke Sungai Kaliadem yang dulunya dalam hingga puluhan meter, namun karena tertimbun batuan material vulkanik kini menjadi rata dengan tanah. Namun selalu hikmah dibalik musibah. Tempat ini kini menjadi satu sumber mata pencaharian baru bagi para penambang batu dan pasir.

Selanjutnya kami juga sempat mengunjungi rumah baru bagi para korban yang berasal dari bantuan pemerintah. Rumah ini didesain tahan gempa dan jauh dari lokasi aliran lahar dingin. Petualangan kami diakhiri dengan kegiatan offroad di Kali Kuning yang surut. Para pengemudi memperlihatkan keahliannya yang tidak kalah dengan para offroader profesional.

Perumahan baru bantuan pemerintah
Wisata Offroad di Kali Kuning
Renungan Arti Hidup
Dan setelah melihat dengan mata kepala sendiri, bekas dan sisa erupsi ini, maka kita harus segera sadar dan ingat sesungguhnya apa yang menjadi arti dari hidup ini, seperti yang tertulis di sebuah bongkahan bangunan di depan musium Sisa Hartaku.

"Dengan Anda Melihat Bekas Sisa Erupsi Merapi, Maka Renungi / Resapi Arti Hidup Ini"

Merapi, 4 September 2013






2 comments:

ya sebagai pelajaran juga bahwa manusia tidak ada apa2nya dibandingkan dengan sang penguasa alam :|

Post a Comment